Konon, orang cenderung susah tidur saat sedang mengalami satu fase dalam hidup, yang namanya ‘jatuh cinta’; alasannya, tak lain karena ia merasa, bahwa kenyataan hidupnya jauh lebih indah dari mimpi dalam tidurnya. Tapi, tak sedikit pula orang yang lebih banyak merasa sepi dan gelisah saat sedang mengalami fase yang sama; itu tak lain, karena selama fase itu, orang sering menempatkan hatinya bersama dengan sosok yang dia cintai. Dan saat secara fisik hal itu tidak terjadi, maka di situlah kegelisahan muncul.
Banyak cerita memang soal fase yang dinamakan jatuh cinta ini. Menyenangkan, mengharukan, melelahkan, bahkan sampai menyedihkan.. Semua bagian dari proses cerita yang terangkai secara multiplot.
Salah satu proses dalam fase yang disebut ‘jatuh cinta’ yang berekspektasi negatif, adalah ketika kita mencintai orang yang salah. Ya, mencintai orang yang tidak seharusnya. Atau bisa saja ia masuk kategori “seharusnya”, tapi dengan disertai alasan lain. Ketidakpantasan lahiriyah -yang notabene adalah produk pikiran berwujud sugesti- kadang mampu menyusun sendiri ending dari fase yang seharusnya mengalir secara alami tersebut. Sialnya, ending itu justru kebanyakan terkesan mendahului apa yang seharusnya. Mengerti sendiri kan.. bahwa sesuatu yang mendahului apa yang seharusnya, kadang menjadi sebuah kesimpulan prematur. Keniscayaan yang kemudian diyakini tanpa alasan, karena hanya berawal dari opini.
Apapun, yang jelas, sebuah fase dalam hidup yang dinamakan ‘jatuh cinta’, tetap akan memberikan warna. Keceriaan yang nyaris serupa dengan apa yang pernah kita alami di masa kecil, terwujud atas hadirnya fase itu. Thanks God for giving us that moment. We’re never know how’s it goin’ to be, since all those hidden meanings are in You.